Raisa Biasa Saja, Apalagi Isyana
Gue
sedang mencoba menjadi diri gue kembali. Menuliskan kisah sehari-hari seperti
saat gue awal-awal ngeblog.
Kata
beberapa teman akrab di WhatsApp, belakangan ini gue lebih banyak menulis
tentang gimana caranya meningkatkan traffic,
nggak peduli isi tulisannya bagus atau nggak. Beberapa tulisan terakhir gue
memang isinya job review, tapi bukan karena gue mata
duitan, meskipun setiap kali liat duit mata gue langsung berbinar-binar. Gue
menerima job review untuk bisa beli paket internet agar bisa tetap menulis di
blog kesayangan mantan gue ini.
Okeh,
cukup.
Beberapa
malam yang lalu gue lagi ngumpul di sebuah kafe murahan sama teman-teman yang
nggak pengen disebut geng. Kafe yang kami datangi adalah kafe 18+. Backsound-nya adalah Sambalado-nya Ayu
Ting Ting yang di-remix sedemikian
rupa sampai terdengar seperti Wiz Khalifa lagi sakit tenggorokan. Sungguh 18+. Di
atas meja sudah tersedia minuman yang memang kami siapkan untuk mabok. Dua
botol Kratingdaeng, satu botol air mineral merk Aqua, dan dua botol Coca-cola
Zero Sugar. Pas banget buat mabok.
Waktu
itu adalah hari di mana teman gue yang kerja lagi ambil cuti, yang kuliah nggak
ngampus dan yang lainnya lagi diomelin sama istrinya karena uang bulanan nggak
sesuai ekspektasi. Cewek.
Mata
teman gue yang diomelin istrinya ini merah banget, padahal baru minum
Kratingdaeng dua teguk. Gue langsung nyeletuk, “Lo mabok atau kelilipan sih?”
Dia
memandangi gue dengan tatapan bingung yang seolah-olah pengen bilang: “Ini
istri gue bukan sih?”
“MUKE
LO JELEK BANGET. JANGAN TANYA KAYAK GITU SAMA GUE, NGGAK COCOK!” katanya,
dengan ekspresi seperti orang yang sedang mabuk berat.
Wah,
stres nih temen gue, kata gue dalam hati.
Salah
satu teman gue yang dari tadi cuma diam, menggelagarkan tawanya, memecah
percakapan absurd yang sengaja kami
buat untuk bahan tertawaan. Begitulah cara gue dan teman-teman menyiasati
pahitnya kenyataan hidup yang lebih banyak nggak sesuai ekspektasi. Kepenatan sebulan
penuh dibayar dengan satu malam penuh tawa. Sengaja gue menyuruh mereka untuk
menyimpan satu hari setiap bulannya agar bisa ngumpul seperti sekarang ini.
Tiba-tiba,
saat suasana meja kami sedang hening, dua orang cewek dengan baju kaos tipis
dan celana jeans hitam melewati meja
kami. Semua mata tertuju pada keduanya, termasuk mata gue. Kucing mana yang
tahan liat ikan segar, kan?
“Buseeettt,
bening banget, kayak Raisa,” celetuk gue.
“Raisa
biasa saja,” sangkal salah satu teman gue yang mukanya paling biasa saja di
antara kami. Dia lalu memalingkan pandangan dari kedua cewek tadi.
“Buseeettt,
kalo Isyana gimana?” kata gue lagi.
“Kalo
Raisa saja biasa saja, apalagi Isyana…” jawabnya.
Mata
gue mencari sumber suara yang sombong banget kayak Bento di lagu Iwan Fals itu.
Teman-teman gue yang lain juga menatap suara itu dengan tatapan seolah meminta
kepastian, “terus yang nggak biasa itu yang kayak gimana?”
“Buat
gue, cantik itu nomor sekian, Men. Mau secantik apa pun, tua nanti bakalan
berkerut juga, bakalan kendor juga. Yang terpenting bukan itu,” katanya
terputus-putus kayak kaset kusut.
“Terus
yang terpenting itu apa, Bro?”
Tidak
ada jawaban, teman gue ini malah tertidur pulas di atas meja. Sementara botol-botol
pesanan kami tadi sudah tergeletak tak berisi lagi.
Terlepas
dari absurd-nya acara ngumpul-ngumpul malam itu, teman gue ada benarnya juga. Kecantikan
dan ketampanan bukanlah hal yang patut dibanggakan. Yang patut dibanggakan
sebenarnya adalah bisa bayarin bill ketika sedang ngumpul sama teman lama. Seperti
yang gue lakukan malam itu, lalu besoknya ngutang di kantin kampus.