Bagian yang Hilang
Tanpa
gue sadari, teman-teman gue mulai menjauh satu per satu. Waktu yang dulunya
sering gue habiskan bersama mereka, sekarang gue habiskan bersama dia. Meskipun
di kampus gue nggak begitu akrab dengan teman seangkatan. Bahkan gue nggak hafal
semua nama mereka, padahal seangkatan cuma 80-an orang. Di kampus, jurusan gue
terkenal dengan tim futsal yang jago dan beberapa pemainnya berasal dari kelas
gue. Sayangnya gue nggak tertarik sama sekali dan lebih memilih main futsal
dengan teman SMA, dan teman-teman dari jurusan sebelah.
Harus
gue akui, gue lebih akrab dengan mahasiswa jurusan sebelah yang satu tahun lebih
muda dari gue. Mungkin itu juga alasan kenapa muka gue kelihatan lebih muda
dari teman yang lain meskipun tahun kelahirannya sama. Muka gue lebih muda dari
teman lain yang seangkatan itu kata gue sendiri, sih. Kata nyokap gue tetep
kayak lahir tahun 80-an. YA ALLAH, MAK, TEGA AMAT SAMA ANAK SENDIRI.
Waktu
di luar kuliah dulunya lebih banyak gue habiskan bersama teman-teman SMA
dibanding teman kuliah. Lalu, semua kebiasaan-kebiasaan gue itu perlahan
berubah ketika gue mulai mengenal dia. Ketika gue mulai jatuh ke dalam cinta. Gue
seolah berpindah dari satu lubang kebahagiaan,
menuju lubang kebahagiaan yang
lainnya. Jelas saja, gue merasa seperti ada bagian yang hilang dalam hidup gue.
Tetapi
gue sama sekali nggak menyadari bagian yang hilang itu, sampai akhirnya salah
seorang teman seolah mengingatkan gue pada lubang kebahagiaan satunya lagi yang
mereka pikir sudah gue lupakan. Mereka mungkin salah, tapi mungkin juga benar. Gue
nggak tau, tapi gue nggak bermaksud sama sekali untuk menghilang dari kebiasaan
akhir pekan yang selalu gue habiskan bersama mereka. Tetapi belakangan, gue
memang sering menghilang tanpa kabar, dan entah kenapa kali ini mereka begitu
peduli sama gue sampai menghubungi gue berkali-kali.
Selepas
satu pesan singkat itu, mereka secara bergantian menelepon gue. Kalau gue
ingat-ingat mungkin total ada seribu tujuh puluh tujuh panggilan yang nggak gue
jawab dari empat nomor berbeda.
Dan,
selepas itu gue pamit dengan berat hati dan perasaan yang nggak enak.
“Aku…,
aku minta maaf, malam ini kita nggak jadi makan berdua dulu, anak-anak maksa
buat ngumpul.”
Gue
mengerti sebuah perasaan yang gue kecewakan itu seperti apa. Bukan apa-apa, dia
baru saja selesai dandan setelah ninggalin gue di ruang tamu sendirian selama
lebih dari sejam. Dan begitu dia selesai gue malah membatalkannya begitu saja. Mungkin
rasanya sama kayak kamu baru saja selesai ngambil makanan di pesta pernikahan
mantan, eh tau-tau acaranya sudah bubar.
“Iya,
nggak apa-apa, kamu sama teman kamu dulu aja,” jawabnya. Gue tau kalimat itu
nggak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Mukanya terlalu lusuh meskipun
dilapisi make up setebal Tembok Besar
Cina. Tapi gue juga nggak pengen melewatkan momen bersama teman-teman kampret
gue itu. Terakhir kali kami ngumpul dengan formasi lengkap, mungkin enam atau
tujuh bulan yang lalu. Kalau malam ini gue nggak datang, entah kapan lagi
kesempatan berharga itu akan datang lagi. Entah kapan lagi bagian yang hilang
itu akan ditemukan kembali.
Dengan
perasaan yang nggak enak, gue meninggalkan dia dengan penuh rasa bersalah. Dan…,
ini bagian sialnya, dengan satu syarat: kami harus terus kontekan.
Mari
gue perjelas.
Gue,
diizinkan ngumpul bersama teman-teman gue, tapi gue harus terus ngehubungin
dia. Internet gue harus terus aktif dan ngasih kabar gue ngapain aja selama di
sana. Sepanjang perjalanan gue sudah membayangkan akan seperti apa kira-kira
acara ngumpul-ngumpul gue sebentar lagi.
“Sayang,
ini aku udah ketemu anak-anak. Liat deh, si Farel rambutnya sekarang kuning
padahal terakhir ketemu masih ungu,” kata gue di WhatsApp sambil kirim foto
teman gue.
“Sayang,
ini aku lagi minum kopi, baru dua kali seruput, masih panas.”
“Sayang,
coba deh liat kelakuan anak-anak, dia lemparin aku stik PS gara-gara aku
mainnya jelek.”
Sayangnya
sepanjang perjalanan gue lebih cenderung mengarahkan pikiran ke satu arah:
gimana caranya gue mengelak sama teman-teman gue sebentar, karena
sebelum-sebelumnya setiap kali ngumpul pasti gue adalah orang pertama yang
menyita gadget masing-masing agar waktu kami yang entah kapan lagi bisa begini,
bisa kami nikmati dengan kusyuk.
Bahkan
pernah sekali ketika kami punya waktu bertemu di sebuah rumah makan, gue mengumpulkan
seluruh gadget dan menumpuknya di salah satu sudut meja, dan siapa yang pertama
kali menyentuhnya sebelum semua makanan di meja habis, dia yang membayar
setengah dari total tagihan. Setengah karena gue juga nggak tega teman gue cuci
piring seharian penuh atau berurusan dengan polisi hanya karena uangnya nggak
cukup.
Sekitar
sejam kemudian, gue sudah ngumpul di rumah salah satu temen gue sesuai janji di
telepon sebelumnya. Yang pertama kali kami lakukan adalah ngumpulin duit buat
beli kopi dan camilan (camilan apaan kuaci sama kacang doang -_-) sambil saling
menertawakan perubahan dari diri masing-masing yang terlihat mencolok. Jauh dari
dalam hati gue, gue pengen nangis karena terharu. Rupanya pertemanan kami masih
bisa bertahan sampai sejauh ini, seolah nggak ada yang berubah sedikit pun.
Sesaat
setelah sampai tadi, gue mematikan semua handphone
gue tanpa sempat pamitan ke dia. Gue ngerasa kalau berantem sehari nggak
apa-apa daripada harus membunuh momen bersama teman-teman yang langka ini.
Malam
itu, kami habiskan dengan bermain game secara bergantian dan membahas banyak
hal hingga pagi. Kebetulan sekali malam itu juga ada pertandingan antara
Mancheseter United vs. Liverpool yang meski berakhir dengan kekalahan United
0-1 tapi gue tetap ngerasa senang. Dan setelah itu, gue nggak menyangka kalau
gue dan dia akan berantem sehebat ini.