Jatuh Cinta Lagi
Sebetulnya
nggak ada masalah sama hubungan jarak jauh atau Long Distance Relationship atau
yang manusia-manusia kekinian sebut dengan LDR. Gue punya banyak teman yang
menjalani hubungan LDR, dari yang beda kabupaten, beda provinsi, beda pulau,
sampai beda agama. Meskipun kebanyakan berakhir nggak bahagia, tapi masih ada
juga yang berhasil menjalani hubungan LDR itu dan bisa menceritakan satu kisah
bahagia pada anak-anak mereka.
Menurut
gue, LDR-an itu nggak apa-apa dijalani kalau pada awal hubungan itu, sudah berstatus
LDR. Yang nggak enak dari LDR adalah ketika dulunya kalian pacaran jarak dekat
dalam waktu yang…, ya, mungkin beberapa bulan atau beberapa tahun, lalu
tiba-tiba harus LDR. Membayangkannya saja nyaris gue nggak sanggup.
Dari
yang biasanya pegangan tangan jalan ke mal, tiba-tiba harus pegang handphone terus. Dari yang biasanya
makan suap-suapan, tiba-tiba jadi nggak nafsu makan. Dan dari yang biasanya
bilang “I love you” sambil kecup kening,
tiba-tiba hanya bisa bilang “I miss you”
sambil ngecup layar handphone pas video call-an. Untung kalau handphone-nya nggak belepotan kena liur.
Sekitar
dua bulan setelah gue baikan kemarin, gue akhirnya harus merasakan juga
hubungan yang namanya LDR itu. Gue akan berangkat ke Jogja selama dua minggu
dalam rangka study tour yang diadakan
kampus gue. Dua minggu mungkin kelihatannya sebentar, tapi percayalah, tidak
semua hal selalu seperti kelihatannya. Beratnya sebuah perpisahan nggak dilihat
dari berapa lama kamu meninggalkannya, tapi dari seberapa rela kamu
meninggalkannya, meski hanya sementara.
Meski
sudah berusaha rela, tapi selalu saja ada rasa nggak enak yang nggak bisa
dijelaskan di penghujung setiap perpisahan. Dan malam itu, hal itulah yang gue
rasakan.
Malam
itu pesawat gue take off pukul
setengah sepuluh malam. Gue sudah nangkring di bandara sejak kurang lebih dua
jam sebelumnya. Si dia sudah ada di sini juga bersama sahabatnya, Dee, menunggu
keberangkatan gue. Meski waktu tersisa itu lebih banyak kami habiskan dengan
tertawa, tapi sebenarnya kami tahu, kami sedang menyembunyikan sebuah kesedihan
yang nyata. Malam itu gue sempat bergumam, “Ah, akhirnya gue LDR lagi.”
Sebelumnya,
gue pernah menjalani hubungan LDR juga dan nggak berakhir manis. Tapi kemudian
gue sadar kalau kali ini ceritanya akan berbeda. Ini adalah sesuatu yang pasti.
Gue pasti akan kembali, dan dia pasti akan menunggu gue kembali. Lagi pula, dua
minggu memang sebenarnya nggak lama-lama amat untuk sebuah hubungan LDR, kan? Dibanding
hubungan LDR yang dijalani berbulan-bulan tanpa kepastian kapan akan ketemu.
Akhirnya
pesawat gue lepas landas, meninggalkan bandara satu menuju bandara lainnya. Meninggalkan
tempat satu menuju tempat lainnya. Bayangan perpisahan tadi masih terus
bertebaran dalam benak gue. Bagaimana gue harus melepas pelukannya dengan
sedikit terpaksa, bagaimana satu kecupan panjang di keningnya nggak ingin gue
lepaskan, dan bagaimana lambaian tangan itu nggak ingin berlalu di mata gue
tapi pada akhirnya semuanya harus terjadi.
“Kamu
jangan nakal-nakal, ya, di sana,” pesannya sesaat sebelum gue memasuki area
khusus penumpang. Dia memandangi teman-teman gue yang kebanyakan cewek.
“Tenang
aja, kamu percaya sama aku. Aku nggak akan nakal-nakal, kok,” kata gue
meyakinkan. Gue meraih kedua tangannya dan menatapnya penuh keyakinan.
Dan
kalimat-kalimat itu berulang beberapa kali, menandakan bahwa memang hanya
kalimat semacam itu yang bisa mewakili perasaan kami. Dan bahwa hanya hal
semacam itu yang dia khawatirkan.
Sementara
gue menikmati musik menggunakan earphone
di dalam pesawat yang sesekali bergetar ketika menabrak gumpalan awan,
teman-teman yang lain sibuk berfoto dan gue memutuskan untuk ikut nimbrung. Lantunan
lagu-lagu Linkin Park sesekali gue lafalkan sambil berpose apa adanya ke arah
kamera. Sesekali pura-pura nggak sadar kamera.
Sisa
waktu perjalanan gue habiskan memandangi handphone
yang sedang dalam mode penerbangan. Sekelebat bayangan di bandara tadi masih
sesekali muncul, tapi lebih dari itu, ada satu hal yang gue nggak pernah
ceritakan ke siapa-siapa, bahwa nggak lama setelah pesawat gue landing, akan ada orang baru yang akan
menemui gue, entah itu di bandara atau di suatu tempat yang akan kami sepakati
nanti.
Kamu
masih ingat cerita sebelumnya? Tentang orang asing kenalan gue waktu itu? Setelah
baikan dengan si dia, gue nggak benar-benar memutus komunikasi dengan dia. Sesekali
gue masih sembunyi-sembunyi menghubunginya, dan sejak itu gue menyadari dengan
benar-benar sadar bahwa gue jadi lebih sering berbohong. Gue jadi lebih sering
mengaku ketiduran padahal chatting
dengan orang asing itu, dan kebohongan-kebohongan kecil lainnya yang berawal
dari situ.
Gue
tiba di Jogja hampir tengah malam dan langsung dijemput mobil dari pihak travel
menuju penginapan. Dan keesokan harinya kami memulai aktivitas dengan
mengunjungi tempat paling mainstream
di Jogja: alun-alun. Kata salah seorang pemilik kereta kuda yang gue sewa di
sini, tempat ini adalah tempat yang selalu ramai dan nggak mengenal waktu. Gue jadi
teringat kota Tokyo dan New York padahal gue sama sekali belum pernah ke sana.
Dan,
di sini jugalah gue akhirnya memutuskan bertemu dengan orang asing itu. Dan hal
pertama yang ingin gue lakukan waktu itu adalah… nyanyi lagu yang ada liriknya “HEY
ORANG ASING!” yang gue lupa judulnya apa.
Segala
macam pesan-pesan dari dia tadi malam hilang, lenyap bagai tertelan paksa
lubang hitam. Perasaan itu berganti seketika menjadi rasa lega dan puas tak
ternilai. Wajah yang kemarin-kemarin
hanya gue tatap dari layar handphone
akhirnya bisa gue tatap langsung dan… sentuh. Iya, gue menyentuh wajah itu dan
gue merasakan lutut gue gemetar kayak lagi nahan kencing. Dan, gue harus
mengakui bahwa saat itu gue jatuh cinta lagi.