Kekosongan yang Harus Diisi
Cinta
bisa muncul dari kebiasaan. Entah itu karena kebiasaan bersama, atau karena
kebiasaan stalking akun medsosnya. Barangkali
gue mengalami yang pertama. Semakin hari gue semakin merasa sayang sama dia,
dan gue mengira itu karena faktor kebiasaan, karena kami bertemu hampir setiap
hari.
Sekarang,
sehari tanpa dia rasanya seperti minum teh tanpa gula. Pekat. Aneh. Nggak enak.
Nggak ketemu pun, kalau nggak menghabiskan waktu mengobrol di WhatsApp, gue stalking-in akun medsosnya lebih sering.
Pikiran gue cuma dia, dia, makan, tidur, kuliah, dia, dan dia lagi.
Tapi
itu terjadi hanya ketika hubungan kami baik-baik saja.
Sampai
seminggu setelah kejadian di tulisan sebelumnya, kami masih belum juga baikan. Permintaan
maaf gue lewat WhatsApp dan SMS sama sekali nggak digubris. Telepon gue nggak
pernah diangkat, bahkan malah dialihkan. Hal paling ngeselin bagi gue adalah
ketika sedang menghubungi seseorang dengan status darurat tapi malah terdengar
kalimat, “Nomor yang Anda tuju sedang dialihkan…” padahal yang dihubungi
sebenarnya nggak sibuk-sibuk amat.
Awalnya
gue berpikir buat nyamperin dia saja sehabis kuliah kemarin. Tapi sampai hari
ini gue masih diam di rumah. Gue menunggu sampai dia merespons pesan gue dulu. Sambil
menunggu itu gue menghubungi teman-teman gue untuk ngumpul. Sayangnya mereka semua
kebanyakan sibuk. Ada yang sibuk di luar kota, sibuk ngurusin tugas kuliah, dan
ada yang sibuk dengan gebetannya. Yang paling susah diganggu pasti jenis
kesibukan yang terakhir. Waktu PDKT dulu gue menghabiskan sangat banyak waktu
senyum-senyum sendiri menatap HP dan nggak mempedulikan room chat lain dari teman-teman gue ataupun yang lainnya.
Satu-satunya
yang menemani gue saat ini adalah laptop yang lagu-lagunya itu-itu saja dan mini speaker yang kadang-kadang suara
bass-nya nggak kedengaran, kadang malah justru hanya suara bass yang terdengar.
Gue
berkali-kali me-refresh linimasa
medsos dia, berharap dia memperbarui sesuatu di sana agar gue tahu apa yang
sedang dia lakukan. Apakah dia baik-baik saja, atau berantakan seperti gue dan
isi kamar gue. Ah, iya, gue ingat terakhir kali membersihkan kamar adalah…
sekitar… hm… ah, gue lupa kapan terakhir kali gue membersihkan kamar. Saat itu
juga gue bangkit dari tempat tidur, mematikan musik, pasang masker ke wajah dan
membersihkan kamar.
Sekitar
setengah jam kemudian kamar gue kembali bersih dan gue bersiap menata ulang
barang-barang penghias kamar gue. Setelah itu, gue kembali stalking dan belum ada perubahan apa pun. Dan akhirnya, gue
iseng-iseng membuka timeline
orang-orang secara acak, dan gue ketemu dengan akun yang lumayan menarik.
Nggak
lama setelah itu, kami berinteraksi sebagai orang asing dengan orang asing yang
sok akrab, layaknya pertemanan dunia maya pada umumnya. Jangankan bertatap
muka, tahu ada akunnya saja belum lebih dari sejam yang lalu.
Lama-kelamaan,
keakraban pun tercipta. Pembahasan kami selalu nyambung dan selalu bisa melebar
hingga menciptakan pembahasan-pembahasan baru yang sebetulnya nggak
penting-penting amat buat dibahas, tapi tetap dibahas juga. Contoh percakapan
nggak penting itu di antaranya adalah: gimana
caranya mendapatkan dadu double dengan angka ganjil? Selain naik haji, tukang bubur pernah naik apa saja? Dan, Dora kalau nggak ada Peta apakah bisa sampai
di gunung dengan melewati hutan dan jembatan sendirian, atau harus dibantu tim
SAR?
Keakraban
yang baru tercipta itu memaksa gue buat melupakan kegalauan gue selama
seminggu. Gue bahkan lupa kalau gue punya pacar. Oh iya, percakapan kami yang
tadinya hanya berlangsung di media sosial, dengan cepat berpindah ke percakapan
personal di WhatsApp. Meski begitu, gue masih sesekali berharap ada chat masuk
dari si dia dan meminta gue datang untuk menemuinya. Bahkan seandainya gue
ngechat dia pagi-pagi buta dan dia baru membalasnya dinihari dan menyuruh gue
datang, gue mungkin akan datang saat itu juga ke dia. Tapi kenyataannya, semua
itu nggak terjadi. Dia tetap tidak menunjukkan tanda-tanda positif dan gue pun
semakin larut dalam keakraban gue dengan orang baru dan asing di hidup gue ini.
Sudah
dua malam Minggu gue lewatkan bersama dia. Sementara gue dan kenalan baru gue
semakin akrab, meski baru akrab hanya sebatas teman biasa.
Hari
ini gue memutuskan untuk mendatangi dia di rumahnya setelah telepon kelima gue
hari ini belum juga mendapat respons positif. Di sisi lain, gue mulai nyaman
dengan si orang asing ini dan…, gue nggak tau ini kabar buruk atau kabar baik,
tapi dia belum tahu kalau sebenarnya gue punya pacar. Tapi gue meyakini bahwa
dia jelas mengira gue nggak punya pacar karena waktu yang gue habiskan beberapa
hari terakhir mengindikasikan hal demikian. Dan gue khawatir ada rasa yang
tumbuh di antara kami melebihi sekadar teman chatting yang nggak sengaja kenal di dunia maya.
Gue
mengetuk pintu rumah dia dengan ragu. Gue belum menyiapkan sepatah kata pun
untuk memulai percakapan setelah dia membuka pintu. Dan saat hal itu sementara
gue pikirkan, pintu terbuka.
“Aku
boleh masuk?” tanya gue setelah dia membuka pintu. Mukanya masih lusuh,
sepertinya baru bangun. Gue memang datang terlalu pagi.
Tanpa
membalas ucapan gue, dia berbalik dan duduk di kursi ruang tamu.
“Kamu
masih marah sama aku?” tanya gue lagi.
Dia
masih diam. Menatap gue lekat-lekat seolah memastikan ini beneran gue dan dia
nggak sedang bermimpi.
“Kamu
cuci muka dulu deh,” perintah gue.
Dan
tanpa berpikir dia langsung berdiri, berjalan ke belakang untuk cuci muka. Nggak
lama berselang dia muncul kembali, duduk dan kembali menatap gue seperti
sebelumnya.
YA
ALLAH KIRIM AKU MUKJIZAT YANG BISA BIKIN ORANG MALES NGOMONG JADI CEREWET NGGAK
KETULUNGAN.
“Kamu
masih ingat salah kamu apa?” akhirnya dia buka suara. Tuhan mendengar doa gue,
meskipun porsinya lebih sedikit tapi ini sudah lebih dari apa yang benar-benar
gue butuhkan.
“Iya,
aku tau. Aku ingat,” kata gue. Tapi sejujurnya, gue sudah lupa penyebab awal
kenapa kami bertengkar seperti ini. Pikiran gue dipenuhi pikiran-pikiran yang
entah apa.
“Iya
aku tau aku salah, makanya aku datang ke sini,” kata gue. “Aku mau minta maaf.”
“Kenapa
kamu baru datang sekarang?” dia memperbaiki cara duduknya, seolah siap
menghakimi gue.
“Dari
kemarin aku nunggu kamu, kenapa baru datang sekarang?”
“Aku
nggak tau kamu nunggu aku. Aku telepon kamu, nggak pernah diangkat, WhatsApp
nggak dibalas,” gue berusaha membela diri, meski gue tau ini nggak akan membantu
sama sekali.
“Harusnya
kamu ngerti,” katanya, menggantung.
“Ngerti
apa? Aku nggak ngerti.”
“Ah,
udah. Nggak pa-pa.”
Suasana
jadi semakin rumit, dan sejenak momen kikuk terjadi. Kami terjebak dalam diam
selama beberapa saat sebelum akhirnya dia menghamburkan diri ke pelukan gue. Gue
kaget, tapi kemudian bersyukur. Semesta baru saja menertawai gue dengan keras. Untungnya,
hari ini ia masih berpihak pada gue. Pada hubungan kami.