Kesalahan yang Fatal
Waktu
menunjukkan pukul 2 siang lebih 5 atau 6 menit, atau mungkin 7 menit. Gue nggak
cermat liat jam. Gue duduk diam, terpaku menatap lantai yang berwarna putih
dominan. Gue bukan sedang jadi pengamat keramik dadakan. Gue sedang diam
memikirkan kata-kata yang akan gue tuturkan agar perselisihan ini segera
berakhir. Sialnya, bukannya memikirkan jalan keluar itu, gue malah memikirkan
alat apa yang digunakan abang-abang penjual keramik itu sampai bisa rapi,
simetris dan sedap dipandang mata seperti ini.
Deru
mesin pendingin ruangan begitu deras di tengah kesunyian ruangan ini. Gue sudah
duduk diam tanpa kata selama kurang lebih 30 menit. Sesekali gue menatap kosong
ke wajahnya yang terlihat sangat kesal dan seperti ingin sekali meninju muka
gue sekeras mungkin. Dari tatapannya gue melihat emosi yang sedang tertahan.
Wajahnya merah, seperti tomat yang setengah masak.
Tik, tok, tik, tok… suara dentum jam dinding di sudut
lain ruangan juga tidak mau kalah. Seolah tidak ingin tertinggal oleh deru
mesin pendingin ruangan, ia pun seolah bersuara lebih keras.
“Kamu
kenapa diam saja?” akhirnya dia bersuara. Tapi gue masih saja diam. Sebetulnya,
sedikit kaget. Tadinya gue pikir kami hanya akan menghabiskan waktu dalam diam
sampai malam tiba.
Gue
cuma menatap dia tanpa sepatah kata pun, lalu kembali menatap keramik. Kaki gue
memainkan garis-garis di sudut keramik itu.
“Kamu
kenapa diam diajak ngomong?” katanya sekali lagi.
“A-aku…,”
gue gugup. “Semalam internet aku mati. kuotaku habis,” elak gue.
“Kuota
habis? Sebelum kamu pergi semalam aku ngecek masih ada 1,5 GB. Sepanjang
perjalanan semalam kamu ngapain? Streaming
YouTube? Nonton istri Eyang Subur lahiran?”
Harus
gue akui, gue adalah cowok yang nggak pandai beralasan. Dan mungkin 69% dari
populasi laki-laki di dunia ini juga demikian adanya. Barangkali itulah alasan
terciptanya slogan “cowok selalu salah” yang selalu memojokkan kaum lelaki.
Gue
diam, lagi-lagi kembali menatap lantai.
“JAWAB!”
bentaknya. Mukanya semakin merah.
Tadinya
gue pikir itu pertanyaan retoris. God, do
you really created men to be wrong in front of women?
“Jaringan
internetnya kayaknya semalam bermasalah, deh. Liat aja itu chat dari semalam
baru masuk semua tadi.” Gue berusaha mengelak lagi. Dan lagi-lagi dengan
gampang gue kena skakmat.
“Terus
kenapa nomor kamu dua-duanya nggak aktif? Dua operator itu gangguan
berbarengan, gitu?”
Keringat
gue mulai mengucur deras—meskipun tidak sederas ketika gue ingin tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, gue mulai jengkel dengan diri gue sendiri karena
gue terlalu bodoh hanya untuk urusan yang harusnya bisa dibikin lebih mudah.
Setelah
akhirnya gue terpojok dan kalah, padahal sebetulnya gue sudah kalah dari awal,
gue akhirnya mengatakan yang sebenarnya.
“Sebenarnya,
semalam aku matiin handphone begitu
sampai.”
“Kenapa
kamu nggak kabarin aku dulu sebelum dimatikan?”
“Nggak
sempat, teman-teman udah lama nunggu.”
“Memangnya
kalian ada acara apa? Rapat DPR?”
“Ngumpul
biasa aja, sih…”
Gue
menyadari dia makin kesal dan marah dengan jawaban gue yang terkesan sangat
santai. Tapi, memang begitulah kenyataannya. Kami nggak ngapa-ngapain. Cuma ngumpul,
membahas hal-hal yang anak-anak muda kebanyakan juga bahas ketika lagi ngumpul
dengan teman-temannya. Dari pembahasan seputar pendidikan yang membosankan,
keluarga, hingga asmara yang gitu-gitu aja.
Dia
tiba-tiba berdiri dan berjalan ke ruangan lain. Sepertinya ke kamar nyokapnya.
Nggak lama kemudian dia keluar dengan membawa dua buah handphone yang nggak asing buat gue. Iya, itu handphone gue yang disita sesaat setelah gue memasuki rumahnya. Gue
digeledah seolah gue adalah calon tersangka yang sedang dalam pengawasan penuh
KPK.
Handphone gue akhirnya berpindah ke tangan
gue dan langsung gue masukkan ke dalam tas. Semuanya berlangsung nyaris tanpa
suara dan kami nyaris tanpa ekspresi. Gue nggak pernah menyangka satu malam
yang indah semalam akan berdampak sekampret ini keesokan harinya. Padahal, apa
yang gue lakukan seharusnya bisa dimaafkan dengan satu pelukan. Tapi jangankan
pelukan, dia bahkan nggak pengen satu jari gue menyentuh kulitnya.
“Kamu
pulang dulu aja sekarang,” perintah dia.
Sejujurnya,
saat itu gue pengen langsung memasang sepatu dan segera pergi dari sini. Badan
gue terasa sangat kaku dan gue butuh bantal buat ndusel-ndusel paling nggak
selama beberapa jam untuk mengembalikan tulang-tulang gue ke tempatnya semula.
“Aku
nggak mau,” jawab gue pada akhirnya.
“Aku
serius, nggak pa-pa. kamu pulang dulu aja.”
“Aku
nggak mau pulang sebelum kamu maafin aku.”
“Maaf
buat apa? Kamu nggak salah, kenapa minta maaf?”
“Aku
merasa bersalah.”
“Nggak
perlu minta maaf.”
“Ya
udah, kalo gitu aku minta maaf.”
“Kamu
pulang sekarang.”
Dan
gue pun menuruti perintahnya nggak lama kemudian. Ketika gue selesai memasang
sepatu dan melangkah keluar dari pintu, pintu rumah dibanting dengan keras dari
dalam. Gue kaget bukan main. Gue pun menyadari kalau gue baru saja melakukan
kesalahan yang fatal. Tapi, yang gue lakukan, gue tetap pulang ke rumah hari
itu.
Lalu
di sepanjang perjalanan gue pulang, gue mengingat-ingat percakapan penutup kami
tadi, dan gue menyadari sesuatu.
Aku nggak pa-pa
Kamu nggak salah, kenapa minta
maaf?
Kamu nggak perlu minta maaf
Kamu pulang sekarang
Kalimat
itu baru gue cerna dengan baik di perjalanan. Dan gue baru sadar, nggak pa-pa bagi cewek berarti apa-apa, kamu nggak perlu minta maaf dari cewek
berarti kamu harus minta maaf, nggak peduli salah atau nggak. Dan, kamu pulang sekarang itu berarti kamu
harus tinggal sampai keadaan benar-benar membaik.
Dan
gue melakukan kesalahan yang fatal.
Tapi
hari itu gue tetap melanjutkan perjalanan menuju rumah. Dan sampai di rumah,
gue mencari tempat terdekat untuk meluruskan tulang yang sudah kaku dan
akhirnya membenamkan diri di sofa di ruang keluarga. Dalam sekejap gue terlelap
dalam tidur.