Seluruh Penjuru Tubuh
Di
hari-hari berikutnya semua berjalan
baik-baik saja. Kami sering mencuri-curi waktu untuk makan di luar atau sekadar
ngobrol di warkop atau kafe. Pokoknya di mana pun itu yang penting bisa
berduaan dalam waktu yang lama. Seperti itulah kisah mainstream gue ketika baru
jatuh cinta.
Pada
setiap percakapan kami di SMS ataupun WhatsApp, selalu ada panggilan “Sayang”
di akhir kalimat, atau di awal kalimat setiap percakapan. Beban yang terus gue
pikirkan pada waktu itu adalah… kita sama sekali belum resmi jadian. Gue belum
pernah sekalipun menyatakan cinta, pun sebaliknya. Panggilan “Sayang” muncul
begitu saja, dan intensitas pertemuan semakin rutin seperti jadwal mata
pelajaran yang sudah tersusun rapi di dalam roster.
Nggak
ada tuntutan atau kode bahwa gue harus segera menyatakan cinta. Dengan keadaan
yang baik-baik saja itu, gue juga nggak merasa harus melakukannya. Kalau dengan begini saja sudah bahagia,
memangnya penting untuk hal semacam itu? Pikir gue waktu itu. Meskipun
ancamannya adalah sewaktu-waktu gue bisa terjebak di friendzone. Tapi, gue
pikir nggak. Kami sudah jadian. Nggak diresmikan dengan kalimat, tapi dengan
tingkah laku.
Setidaknya
perhatian di tiga bulan pertama setelah ketemu sudah jadi jawaban atas beban
itu. Ucapan selamat pagi, jangan lupa makan, dan have a nice dream setiap
harinya cukup menguatkan semua pertanyaan-pertanyaan yang terus beradu dalam
pikiran gue.
Sampai
di penghujung mata kuliah yang membosankan suatu hari, gue dibebankan banyak
tugas yang harus ditulis tangan. DI ZAMAN SERBA TEKNOLOGI GUE MASIH KERJA TUGAS
BERLEMBAR-LEMBAR BANYAKNYA DENGAN TULIS TANGAN. Dan itu benar adanya. Karena
gue pesimis dosen bersangkutan akan bisa membaca tulisan tangan gue yang
memprihatinkan itu, gue pun iseng meminta bantuan ke dia.
“Aku
jemput di kampus kamu sebentar lagi, aku dandan dulu.”
“Okeh.”
Hari
itu, kuliahnya selesai lebih cepat. Sekitar pukul dua siang kami sudah duduk
bersebelahan di kafe yang selalu ramai di tengah kota. Gue nggak tau kenapa
kafe ini selalu ramai padahal jaringannya SUCK banget, menunya juga biasa aja, masih
lebih enak kopi dan pisang goreng nugget bikinan kakak gue.
Kalau
nggak salah, tugas gue hari itu berhubungan dengan Ekonomi, entah makro atau
mikro, yang jelas semuanya ditulis tangan dan semuanya gue bebankan kepada dia.
Sambil menulis, sesekali dia melempar pandangan ke sembarang arah, sementara
pandangan gue selalu fokus ke wajahnya.
Wajah
ini yang nggak sabar pengen gue temui beberapa bulan lalu. Wajah ini yang bikin
gue hampir tiap malam bermimpi indah. Wajah ini yang selalu terbayang ketika
gue jongkok di kloset melakukan hal ceroboh. Ketika dia pertama kali
membuka maskernya malam itu, gue nggak begitu terpesona. Bahkan biasa banget. Wajahnya
di foto media sosialnya lebih tirus daripada muka yang gue tatap sekarang. Muka
yang gue tatap ini lebih bulat, berpipi tembem, dengan gigi putih yang tersusun
rapid an rata ketika tersenyum. Senyumnya lebar seperti senyum milik Monkey D.
Luffy. Sejak saat itu gue nggak pernah lagi meremehkan kehebatan sebuah
aplikasi pengedit foto. Anehnya, semakin hari gue semakin mencintai wajah itu. Wajah
yang di dalamnya terdapat banyak bekas keceriaan yang seakan menular.
Setidaknya menular ke gue yang nggak berhenti tersenyum menatapnya.
Ingin
sekali hari itu gue menyentuh wajah yang sedang serius itu. Mengelusnya lembut,
dan memainkan jemari di sekitaran keningnya, lalu naik ke rambutnya dan
menangkap seekor kutu yang diam-diam mengintip gue memperhatikan.
Gue
bahkan kalah telak dengan si kutu. Untuk sekadar menyentuh wajah itu saja gue
belum punya keberanian sedikit pun, sementara si kutu dengan santainya berbaring
di kulit kepalanya. AH!
“Sudah
selesai, nih!”
Lamunan
gue buyar seketika. Dia menyerahkan seluruh lembaran kertas itu ke gue,
termasuk kertas kosong yang jadi cadangan. Gue memeriksa dengan asal, lalu
memasukkannya ke dalam tas.
“Thank you, Baby,” gombal gue. Gombal? Iya, anggap saja itu gombal. Karena gue
lebih berani memanggil “Sayang” di WhatsApp daripada secara langsung. Cemen!
Jam-jam
berikutnya kami isi dengan bercerita panjang lebar tentang apa pun. Tentang
kampus, sedikit tentang ketika kami pertama kali ketemu, tentang tugas yang
numpuk, tentang dosen baik dan killer,
dan tentang pengunjung lain yang bersikap tidak biasa. Kami bergunjing seperti
ibu-ibu yang menunggu tukang sayur di pagi hari.
“Eh,
aku bawa laptopku, nih. Gimana?” katanya sambil merogoh tas cokelat miliknya.
“Oh,
iya, coba aku liat.”
Beberapa
malam sebelumnya dia sempat mengeluh sistem laptopnya rusak dan gue mengiyakan
untuk coba memperbaikinya.
Sewaktu
baru lulus SMA dan masih menikmati masa liburan, yang gue lakukan adalah belajar
instalasi sistem operasi komputer secara otodidak. Hasilnya, gue berhasil.
Korbannya: puluhan gigabyte data-data gue hilang. Dari musik, dokumen, film,
dan serangkaian file penting dan nggak penting lainnya ikut hangus dalam kelas
yang gue ciptakan sendiri waktu itu.
Meski
sempat stres, tapi akhirnya sebagian data yang hilang itu kembali.
Sekitar
sejam kemudian, pekerjaan gue selesai. Hari itu kami seolah membuat win-win
solution yang nggak direncankan. Lo
kerjain tugas gue, gue benerin laptop lo, kurang lebih seperti itu.
Gue
menyeruput kopi gue untuk yang terakhir kalinya malam itu. Jam di ponsel gue
menunjukkan pukul delapan malam. Gila ya, orang kalo lagi jatuh cinta memang
lupa waktu.
“Aku
baru aja bilang ke Papa kalo kamu bisa benerin laptop aku. Kebetulan laptop
Papa juga lagi rusak, minta dibenerin, tapi nggak punya waktu. Kamu bisa ke
rumah?”
MODUS
LEVEL DEWA BUJANA JUAL GITAR BUAT BELI SENAR!!!
“Eh?
Maksud kamu, aku datang ke rumah kamu, gitu?”
“Ya,
gitu…”
Dan,
cuaca yang dingin malam itu nggak berhasil menahan keringat gue untuk mengucur
dengan derasnya ke seluruh penjuru tubuh.