Tak Sadarkan Diri dalam Waktu yang Lama
Coba
sejenak bayangkan, kamu sedang berada di suatu tempat di mana orang yang paling
kenal dengan kamu sedang dalam keadaan sibuk—atau sok sibuk, dan kamu nggak
punya apa pun sebagai pengalih perhatian. Sementara kamu sedang dikelilingi
orang-orang yang jangankan diajak bicara, kenal dengan kamu pun nggak. Dan, kamu
hanya bisa duduk diam, seperti patung yang menunggu dipahat.
Hari
Sabtu yang cerah itu, gue duduk di kursi panjang di dekat tangga menuju lantai
dua rumah dia. Gue duduk mematung menunggu bokapnya pulang dari kantor. Waktu
itu sebenarnya gue banyak berharap bokapnya tiba-tiba ada keperluan mendadak
dan harus pergi ke luar kota dan menginap satu malam di sana.
Laptop
yang rusak itu sudah ada di depan gue, sedang gue perbaiki. Sepasang mata yang duduk
di tangga menatap gue berulang-ulang, bergantian menatap gue dan televisi yang
gue punggungi. Sementara sepasang mata lain menatap kosong ke arah gue. Entah
apa yang ada di dalam pikiran pemilik mata itu. Yang pasti, ekspresi wajah itu
menunjukkan raut muka yang nggak senang. Dan, sepasang mata yang akrab dengan
gue sedang sibuk di dapur, meninggalkan gue yang kepanasan, dibasahi keringat
sendiri yang hari itu dibalut kemeja hitam yang kainnya kayaknya nggak menyerap
keringat. HUFF.
“Kalo
udah beres, isikan game yang banyak,” kata pemilik sepasang mata yang duduk di
tangga. Sementara pemilik sepasang mata tidak bersahabat satunya lagi hanya
berdeham kecil, tetap memperhatikan, seolah menunggu gue melakukan kesalahan,
lalu, SKAK!
Seketika
gue membayangkan seperti sedang berada di ruang interogasi kepolisian. Ditanyai
sebagai calon tersangka kasus pembunuhan dengan satu orang penanya, dan satu
orang lagi yang bersiap-siap dengan sepatu laras dengan berat 5 kilogram yang
akan menghantam muka gue jika tidak menjawab semua pertanyaan dengan baik dan
jujur.
Gue
masih duduk mematung. Berusaha senyum, tapi sepertinya senyum ramah gue sedang
jalan-jalan di muka orang lain. Gue sesak napas, gue butuh oksigen. Gue butuh
udara segar, sesegar mungkin. Oksigen, help
me, O K S I G E N. HELP!
Dari
luar terdengar suara kendaraan memasuki garasi. Gue menoleh, hanya kain penutup
jendela yang gue lihat, tapi tetap gue tatap juga setelah melihat dua pasang
mata tak bersahabat itu juga menatap ke arah yang sama.
Pintu
diketuk, lalu tanpa aba-aba gagangnya terputar dan pintu terbuka.
“Assalamu alaikum,”
“WAALAIKUM SALAM.” Berbarengan kami
menjawab salam itu. Seorang laki-laki dengan badan agak tambun, nggak lebih
tinggi dari gue, dengan kumis tebal mirip almarhum Pak Raden di bawah
hidungnya, tersenyum lebar ke arah gue.
Saat
itu, gue mengingat dua wajah secara bergantian. Wajah Pak Raden dan Adam Suseno
suaminya Inul Daratista. “Kok mirip ya,” gumam gue.
Gue
kembali berkutat dengan laptop. Dua pasang mata yang nggak bersahabat tadi
menjauh, tapi kali ini diganti dengan sepasang mata yang akan menjawab masa
depan gue: masih bisa keluar hidup-hidup, atau berakhir sampai di belakang
pintu.
“Sudah
lama?” tanya Adam Suseno versi lebih pendek yang gue curigai sebagai bokapnya
dia.
“I-iya,
Om, lumayan.”
“Saya
sebenarnya juga bisa perbaiki itu, tapi tidak punya waktu.”
“Oh,
i-iya, Om.”
“Kalo
Sabtu pulang kerjanya cepat, tapi saya gunakan untuk membersihkan rumah,
soalnya hari Minggu waktunya khusus buat keluarga.”
“Oh,
i-iya, Om. HEHEHEHE.”
Bokapnya
dia bukannya pergi, malah duduk di dekat gue, memperhatikan cara kerja gue. Gue
jadi melayang kembali ke kantor polisi dan interogasi. Dua polisi yang menanyai
gue sebelumnya sudah keluar, tapi diganti dengan satu polisi yang pangkatnya
lebih tinggi, plus lebih menyeramkan. Gue
mending ketemu Kate Winslet dah kalo kayak gini. ;(
“Saya
punya banyak koleksi sistem operasi. Mulai dari Linux, Windows XP, Vista,
Windows 7 Home Edition sampai Windows 7 Professional dan Ultimate.”
“Oh,
i-iya, Om.”
Sebentar
lagi kayaknya gue bakal digampar, nih. Firasat gue nggak enak.
“Ini
tehnya.”
Dia
akhirnya datang membawakan minuman. Bokapnya lalu meninggalkan kami berdua.
Firasat gue masih juga nggak enak. Kayaknya bokapnya bakalan masuk ke dapur,
ngambil tabung gas elpiji tiga kilo dan melemparkannya ke kepala gue.
“Gimana,
udah selesai?” tanya dia.
“Sedikit
lagi, Om,” kata gue.
“KOK
OM SIH?”
Wadaw!
Saking groginya gue nggak bisa bedain dia dengan Adam Suseno.
“Maksud
aku, sedikit lagi.” Gue berusaha datar.
Tiba-tiba,
dia menyapu keringat gue di kening dengan tissue yang dia ambil entah dari
mana. Gue pun mengusapnya sedikit dan tersenyum.
“Santai
aja lagi,” katanya lembut.
SANTAI
GIGI LO STANDING LALU JATUH TIDAK BERATURAN, NYET!!!
Tadi,
pagi-pagi sekali, gue mandi. Sejam setelah mandi, gue mandi lagi gara-gara
nggak berhenti keringatan. Di jalan keringat gue berhenti mengucur karena angin
sejuk yang menerpa tubuh. Sampai di depan pintu rumah dia, keringat itu
membentuk formasi terbaiknya dan kembali mengucur deras. Dan hasilnya, tercipta
suasana paling canggung yang pernah gue alami seumur hidup gue.
Akhirnya
kerjaan gue selesai juga. Gue akan segera pergi dari sini. Gue menghabiskan teh
yang sudah mulai dingin.
“Keluar
yuk, jalan-jalan,” kata gue ke dia.
“Aku
mandi dulu.”
“OKE!”
Berbarengan
dengan itu, terdengar satu kendaraan lagi memasuki garasi.
“Oh,
Mama udah pulang juga, siap-siap ditanya, ya,” kata dia dengan begitu
santainya.
Gue
ditinggal mandi, dan nyokapnya sudah pulang. Dan, sekarang gue lebih memilih
untuk menelan pil tidur atau apa pun yang bisa bikin gue tak sadarkan diri
dalam waktu yang lama.