Penyebar Berita Hoax Itu Ada di Mana-mana
Rumah Sejuta Martabak
Yogyakarta City, Indonesia
Sekitar
tahun 2000 atau 2001 ada satu kejadian yang mungkin nggak akan pernah gue
lupakan seumur hidup. Ketika itu jangankan internet, komputer aja masih sangat
jarang. Smartphone? Oh, featured phone paling mewah waktu itu
adalah Nokia 3310 yang kalo dipake
ngelempar mesin air di sawah, mesinnya bisa hancur berkeping-keping. Benda paling
modern di zaman itu bisa dibilang adalah mesin fotokopi yang gedenya kayak
kulkas itu.
Kejadiannya
subuh-subuh, gue masih tidur dan nyokap ngebangunin gue dengan terburu-buru
ketika dia baru saja pulang salat subuh di masjid. Biasanya memang nyokap
selalu menggedor kamar gue sampai gue keluar kamar dan ngambil wudhu. Tapi pagi
itu ditambah dengan kalimat, “Cepetan solat, habis itu pergi fotokopiin ini.”
Nyokap
memegang selembar kertas yang entah isinya apa. Gue yang masih ngantuk hanya
mengiyakan sambil jalan ke belakang.
Salat
gue nggak kusyuk karena kepikiran apa isi kertas yang nyokap maksud tadi. Setelah
itu, gue duduk di ruang tamu saat nyokap lagi ngaji. Kertas yang diperlihatkan
ke gue tadi tergeletak manja di meja. Gue baca isinya…
Bumi sudah mulai tua, kehancuran bumi tidak akan lama lagi. Tanda-tanda kiamat ada di mana-mana, bla bla bla bla, bla bla bla bla, dan bla bla bla bla…
Sebarkan surat wasiat ini ke 20 orang terdekat Anda, niscaya Anda akan selamat dari siksa api neraka kelak. Jangan sampai surat wasiat ini berhenti di Anda atau hidup Anda akan mengalami kesialan selama bertahun-tahun.
Kurang
lebih seperti itu isi selembar kertas yang dikasih nyokap ke gue itu.
Karena
waktu itu gue masih nggak tau apa-apa, ya gue nurut aja. Saking parnonya nyokap,
dia malah bilang gini: “Kamu fotokopi saja 25 atau 30 lembar, takutnya tukang
fotokopinya salah hitung kalo dipas-pasin.”
Buset.
Sebagai
anak yang tidak ingin berdosa pada orangtua, gue melakukannya. Tapi karena
jarak dari rumah gue ke tempat fotokopi waktu itu agak jauh dan gue hanya naik
sepeda, gue bilang ke nyokap akan ke sana sepulang sekolah. Dan sepanjang hari
gue di kelas, gue nggak bisa konsentrasi, terus kepikiran isi surat wasiat itu.
“Kalau tidak disebarkan maka hidup Anda
akan menderita kesialan selama bertahun-tahun.” Kalimat itu terus terngiang-ngiang
di telinga gue kayak nyamuk yang kelaperan.
Pulang
sekolah gue nggak makan siang dulu saking takutnya, gue langsung pulang ke
rumah ngambil kertas itu dan pergi ke tempat fotokopi. Sampai di sana, ada
teman-teman gue beberapa orang sedang mengantre. Anri, Rudi, Bagas, dan
beberapa orang lainnya yang gue nggak ingat lagi namanya.
“Kalian
ngapain di sini?” tanya gue.
“Fotokopi,”
jawab Anri. Rudi dan beberapa teman lainnya menoleh ke arah gue.
Kalian
pengen tau apa yang mereka fotokopi? Ya, betul. Kertas yang sama dengan yang
gue bawa.
Berhari-hari
gue menunggu orang-orang lewat di depan rumah gue untuk membagikan
kertas-kertas yang sudah gue fotokopi. Faktanya 20 lembar susah banget buat gue
habisin. Semua tetangga gue melakukan hal yang sama dan gue nggak mungkin
membagikannya ke mereka karena takut bakal dikira ngibulin Tuhan dan gue
akhirnya sekeluarga kena azab dan masuk neraka. Gue nggak tau dari mana asal
muasal kertas selembar berisi surat wasiat itu, tapi bisa kalian bayangkan
betapa besarnya omzet tukang fotokopi pada waktu itu.
Setahun
berlalu dan kiamat nggak jadi datang. Surat wasiat itu pun mulai dilupakan dan
aktifitas orang-orang di kampung gue mulai normal kembali. Nggak ada yang
pernah membahas soal surat itu, seolah kejadian itu nggak pernah ada.
Sekarang
manusia-manusia penebar berita bohong itu beralih media. Mereka ternyata melek
teknologi juga. Ketika kemarin gue buka Facebook, gue melihat sesuatu yang
bikin gue teringat lagi pada zaman kebodohan itu. Ada seseorang yang ngupload screenshot percakapan (atau mungkin
pesan broadcasting) di aplikasi WhatsApp-nya.
Speechless pas liat ini... |
Tadinya
gue pikir berita hoax sialan kayak gini hanya bertebaran di BBM alias
Blackberry Messenger, makanya gue nggak pernah pake BBM untuk menghindari gue
naik pitam, darah tinggi, lalu mati tiba-tiba gara-gara setiap saat harus
menerima dan baca berita hoax dari teman-teman terdekat dan keluarga gue. Dan sekarang,
penyebar berita hoax itu ada di mana-mana.