Tempat Menyimpan Aib
Rumah Sejuta Martabak
Yogyakarta City, Indonesia
Gue
ingat kenapa gue bisa punya blog.
Ceritanya
mungkin agak panjang kayak gerbong kereta di Ukraina.
Waktu
itu kelas tiga SMA, Ibu Kartini nyuruh seluruh siswa dan siswi di kelas buat
bikin cerpen yang nantinya akan disatukan jadi buku dan disimpan di
perpustakaan sebagai kenang-kenangan pas lulus nanti.
Ibu
Kartini adalah guru Bahasa Indonesia sekaligus wali kelas gue di kelas tiga. Waktu
itu umurnya sudah menginjak empat puluh dua tahun tapi orangnya masih gaul abis.
Saking gaulnya gue dan beberapa teman sekelas pernah diajakin malam Mingguan di
pinggir pantai sambil bakar-bakar jagung, tapi acara bakar-bakarannya gagal
gara-gara hujan dan hasilnya kita semua kelaparan sepanjang malam.
Saat
bel pulang sekolah berbunyi, nggak ada satu pun temen gue yang keluar kelas. Biasanya,
lima belas menit sebelum jam pulang mereka udah pada stand by di depan pagar sekolah kayak orang mau demo cuma buat
nungguin pagar dibuka, seolah-olah yang pulangnya belakangan bisa nggak
kebagian makan siang. Mungkin buat mereka, bisa jadi orang pertama yang keluar
saat pagar dibuka adalah suatu pencapaian hidup yang luar biasa, entahlah.
Rupanya
temen-temen gue saat itu lagi pada diskusi nanti mau ke warnet yang mana buat
nyari cerpen yang udah jadi di internet.
Dasar
generasi copy-paste, gerutu gue dalam
hati.
“Lo
mau ikutan juga nggak?” kata salah satu temen gue.
“Ya
mau lah!” jawab gue dengan mantap.
Mau
nggak mau gue juga ngikut karena walaupun sebenarnya gue suka nulis sejak lama,
gue nggak pernah pede tulisan gue dibaca banyak orang nantinya apalagi sama
guru Bahasa Indonesia yang bisa saja mempermalukan gue di hadapan teman-teman
sekelas kalau-kalau cerpen gue jelek.
Setelah
itu gue dan hampir semua temen kelas pulangnya ke warnet yang paling deket dari
sekolah, nggak langsung ke rumah masing-masing. Gue duduk di salah satu bilik warnet
yang masih kosong karena kalau duduk di bilik yang ada orangnya pasti
dimarahin.
Gue
ngetik “cerpen” dan “cerita pendek” di dua tab berbeda di Mozilla Firefox. Dulu
mah di warnet-warnet deket sekolahan gue nggak ada yang kenal sama Chrome
apalagi Internet Explorer yang sekarang udah ganti nama jadi EDGE. Abang-abang
penjaga warnetnya juga kalau ditanyain apa-apa, jawabnya selalu “ketik aja di
tab pencarian Mozilla” sambil sibuk main Point Blank.
Tanpa
pikir panjang, saat kumpulan cerpen muncul gue langsung tekan CTRL + A di
keyboard lalu paste ke Ms. Word,
edit-edit dikit, save, taruh di memory stick alias flash drive terus pulang
dan nggak lupa mampir di rumah temen yang punya printer buat ngeprint, lalu tinggal
tunggu minggu depan buat dikumpulin. Oh, andai mengerjakan tugas selalu semudah
ini gue nggak papa walau disuruh masuk sekolah delapan kali seminggu.
Minggu
depannya, pas waktu cerpennya dikumpulin, Ibu Kartini marah-marah gara-gara 90%
cerpen yang terkumpul isinya sama, cuma judulnya yang diganti. Semua ceritanya
adalah tentang laki-laki miskin yang punya pacar cantik, ceweknya berjanji akan
setia sampai mati, lalu dia ketemu cowok tajir dan melupakan janjinya. Lalu si
cowok akhirnya sukses dan di suatu pesta mereka ketemu lagi dan si cewek
menyesal karena ternyata mantannya yang miskin itu jauh lebih tajir dua puluh
tujuh kali daripada pacarnya yang sekarang.
Kalau
kalian nggak percaya coba ketikkan “cerpen” atau “cerita pendek” di browser
kalian, pasti cerita itu muncul di halaman pertama dengan berbagai judul.
Ibu
Kartini menggebrak meja sekuat tenaga lalu bilang, “SISWA! APA MAU KALIAN? INI
KAN GAYA KALIAN, COPY-PASTE!!!” lalu menginjak-injak lantai.
Kita
semua diam.
Sok serius kalo guru lagi marah padahal pikirannya ke mana-mana... via seratusinstitutecom |
Sekarang
gue tau, Arya Wiguna jadi temperamen waktu ketemu Eyang Subur kayak gitu
terinspirasinya dari siapa.
Hari
itu nggak ada satu pun cerpen yang diterima dan batas waktu pengumpulan cerpen
ditambah tiga hari. Pas pulang sekolah nggak ada lagi temen-temen yang ngajakin
gue ke warnet, semuanya lagi sibuk berdiri di depan pagar dari tadi. Dasar ular
berkepala snake!
Gue
tau beberapa temen gue yang emang keras kepala dan emang nggak jago ngarang
tetep ngotot ngumpulin cerpen yang dicopot dari Google dengan teknik page two. Jadi mereka ngopas cerpen dari
link yang ada di halaman dua Google
dengan harapan nggak ketahuan sama guru, padahal gue yakin halaman satu sampai
beberapa halaman ke belakang semua isinya sama aja.
Karena
kata Ibu Kartini nanti cerpennya akan disatuin dalam bentuk buku, gue pun
berinisiatif buat bikin cerpen sendiri. Gue nggak mau suatu hari ada adik kelas
gue yang jalan-jalan ke perpustakaan, baca karya gue lalu bilang: “Ini mah
kopas dari Google”. Nggak.
Gue
pun menulis cerpen dengan kemampuan dan imajinasi yang serba terbatas. Kalau kalian
ingin muntah, bisa baca cerpennya di sini. Cerpen ini adalah tulisan yang sama
yang ada di buku kumpulan cerpen teman sekelas gue, sampai sekarang masih ada
di perpustakaan sekolah. Tulisannya nggak gue ubah, nggak gue edit sedikit pun
termasuk gambar ilustrasi hingga titik-komanya. Gue menulis cerpen ini di
warnet setelah pulang sekolah sehabis Ibu Kartini menggebrak meja. Saat itu gue
belum punya komputer apalagi laptop. Jangankan punya laptop, punya Nokia 3310
buat nyepikin calon gebetan aja gue udah sukur banget waktu itu.
“Bagus,
bagus,” puji Ibu Kartini pada semua naskah yang akhirnya diterima tiga hari
kemudian.
Gue
melirik beberapa teman gue yang nggak ketahuan ngopas cerpen dari internet. Beruntung
sekali bangsat-bangsat itu, kata gue dalam hati.
Ekspresi pas nggak ketahuan ngopas... |
Saat
mendengar kabar kalau buku kumpulan cerpennya sudah jadi, gue hampir setiap
hari main ke perpustakaan cuma buat baca cerpen hasil karya gue sendiri. Kadang
gue menunggu orang lewat lalu gue ketawa kecil dan berharap ada orang yang
nanya lalu gue akan menjawab, “lagi baca cerpen. Lucu” lalu orang itu penasaran
dan baca cerpennya lalu liat foto gue kemudian melihat muka gue dan bilang
lagi, “Kok ada foto kamu? Ini cerpen tulisan kamu ya?” lalu gue akan mengangguk
sambil tersenyum malu-lalu.
Tapi
nggak pernah ada yang melakukannya.
Karena
nggak mungkin masuk perpus terus apalagi setelah lulus, gue pun mencari cara
gimana agar tulisan gue bisa tetap bisa gue baca kapan pun tanpa harus masuk ke
perpus dan akhirnya ketemulah gue dengan yang namanya blog.
Ternyata,
awal gue punya blog adalah untuk menyimpan aib.
Selain
berisi cerpen yang setelah gue baca lagi ternyata sangat menjijikkan itu, gue juga
menulis beberapa cerita yang sangat singkat tentang sekolah dan percintaan,
semua tulisannya juga masih ada di blog ini. Tersimpan rapi bersama
kumpulan-kumpulan aib lainnya yang sayang kalau dihapus, jadi gue diamkan buat
sesekali gue baca lagi dan tertawakan kalau gue lagi bosan mikirin mantan
terus.