Hantu yang Suka Nongkrong di Bagian Belakang Kelas
Rumah Sejuta Martabak
Yogyakarta City, Indonesia
Gara-gara
tadi malam ada rame-rame bahas sosok dosen yang katanya kakinya nggak napak dan
pas gue liat ternyata kejadiannya di UAD (Universitas Ahmad Dahlan) alias
kampus temen cewek gue, gue langsung minta konfirmasi soal berita yang sempat
jadi viral itu.
Ternyata,
berita soal dosen yang katanya jangkung itu… HOAX.
Sebenarnya
gue mau tulis ini tadi malam, tapi karena udah ngantuk banget dan sempat ada
yang iseng di luar kamar gue, akhirnya baru bisa gue ceritain sekarang.
Kalau
kalian belum tau, mari gue ceritain garis besarnya. Jadi ceritanya, sore itu ada
kuliah di salah satu kelas di kampus itu. Ketua kelas udah ngabarin dosennya
kalau semua mahasiswa udah di kelas, siap-siap tidur dikasih kuliah. Saat
ketua kelas lagi ngehubungin dosen bersangkutan yang ternyata berhalangan
hadir, di saat yang tiba-tiba ada sesosok laki-laki yang tingginya di atas
rata-rata masuk ke kelas itu. Kalau ngeliat fotonya sih, bule normal juga
tingginya nggak gitu-gitu amat. Cuma, kok sempat-sempatnya ada yang foto dan
juga kok bisa tertangkap kamera? Tapi jangan dibahas dulu biar ceritanya
panjang.
Nah,
pada saat itu ketua kelas ngelapor ke dosen bersangkutan kalau ada yang
tiba-tiba masuk dan ngaku-ngaku sebagai dosen pengganti. Dosen yang nggak
ngerasa mengutus pengganti, nyuruh ketua kelas buat mastiin itu dosen beneran
atau dosen jadi-jadian. Ketua kelas pun jatuhin pulpen ke lantai dan ternyata
kaki laki-laki itu nggak menyentuh lantai.
Pantesan
aja tinggi.
Mengetahui
kejadian itu, ketua kelas lewat grup LINE nyuruh teman-temannya buat keluar
satu per satu dimulai dari yang paling belakang. Saat akan keluar, ketua kelas
yang kebetulan duduk paling depan ditanya sama dosen itu, “KAMU SUDAH TAU YA?”.
Gue
sempat merinding sih, bahkan saat gue membaca cerita yang jadi viral di Twitter
itu. Tapi, bukan karena itu gue merinding melainkan karena cerita aslinya—yang gue
percaya adanya—yang lokasi kejadiannya nggak jauh dari kosan gue.
Kalau
kalian tau cerita soal sosok serupa di rektorat UGM (Universitas Gadjah Mada),
kejadiannya mirip seperti itu. Waktu itu, ada dua mahasiswa kere yang terpaksa
ngerjain tugas di gazebo perpustakaan kampus karena di sana satu-satunya tempat
yang internetnya gratis dan kencang. Ya, namanya juga mahasiswa kere. Saat itu
sudah malam hari sekitar jam 9 atau 10 malam, tiba-tiba keduanya disamperin
sama seorang pria paruh baya dan menyapa mereka. Keduanya masih biasa aja
sampai salah satu dari mereka nggak sengaja ngejatuhin pulpen dan menemukan
kaki pria itu nggak menyentuh tanah. Diam-diam, satu orang ini pamit pulang ke
temannya dengan alasan udah malem banget.
Karena
nggak enak sama temannya yang masih tinggal, dia pun ngirim SMS saat udah di
jalan pulang. Temannya pun pura-pura jatuhin pulpen buat mastiin, lalu dia juga
pamit pulang ke pria itu dan pria itu menjawab: “KAMU PULANG KARENA SUDAH MALAM
ATAU KARENA SUDAH TAU?”
Gue
kalo ditanya kayak gitu ya gue jawab aja, “TERSERAH BAPAK!!!” sambil nangis
guling-guling karena ketakutan.
Di
dalam cerita mahasiswa UAD itu, katanya kelas itu diliburkan tiga hari setelah
kejadian itu. Tapi pengakuan Nuyung sebagai mahasiswa UAD, kejadian itu memang
pernah ada tapi udah lama banget, bukan seminggu lalu seperti keterangan yang
ada di screenshot yang jadi viral semalam.
Ya, semacam urban legend seperti
cerita misteri yang ada di UGM yang gue ceritain barusan.
Tapi,
tapi… gue sendiri melihat ada yang aneh dari kejadian di kampus UAD itu.
Pertama,
ketua kelas duduknya paling depan, tapi buat mastiin kaki dosennya nyentuh
lantai atau nggak dia harus jatuhin pulpen dulu. Kalau kejadian yang di UGM,
lebih masuk akal sih karena emang mereka duduknya di gazebo dan nggak bisa
ngeliat kaki satu sama lain. Kalau di kelas, nggak mungkin nggak ada satu pun
yang nggak merhatiin bagian kaki dosennya dengan jumlah mahasiswa yang terlihat
di foto, sebanyak itu dan juga sedekat itu. Atau mungkin ada yang liat tapi
nggak berani ngaku.
Kedua,
saat ketua kelas nyuruh teman-temannya keluar satu per satu. Gue nggak terlalu
yakin ketua kelas seberani dan sedekat itu setelah dia tau sosok dosen
sebenarnya, kecuali dia punya kemampuan khusus. Tapi kalau punya kemampuan
khusus, dia nggak perlu menunggu disuruh oleh dosen yang asli buat memastikan.
Tiga,
gue lapar.
Empat,
Kok bisa ketangkap kamera dan kok sempat-sempatnya ada yang mengabadikan. Hmm…
Gue
nggak tau apakah ada seseorang yang iseng menjadikannya viral atau bagaimana,
tapi kejadian-kejadian yang serupa tapi beda tempat juga bisa kalian temukan di
berbagai sumber di internet. Yang setiap tahunnya berbeda hanya lokasi dan cara
berceritanya. Case closed.
Sebelum
menutup cerita ini, gue juga mau cerita sedikit pengalaman gue saat di kampus
dulu. Bukan gue sih yang ngeliat langsung, tapi teman kelas gue. Ya, nama
kampus, sekolah, dan bangunan-bangunan tua semacamnya pasti adalah
penghuni-penghuni yang suka iseng seperti itu. Tapi ini bukan cerita soal orang
yang kakinya nggak napak, lebih dari itu.
Jadi
waktu itu, gue baru sekitar semester dua atau tiga. Kebetulan gue kuliah di
kampus negeri jadi maksimal kuliah cuma boleh sampai jam 5 sore. Karena di luar
hujan dan gue nggak bawa mantel, gue pun nunggu hujan reda dulu baru pulang. Saat
itu kebanyakan teman-teman gue udah pada pulang karena bawa mantel dan ada juga
yang bawa mobil. Yang belum pulang tinggal gue, Fandi, Aliyah, dan Ana.
Awalnya
gue duduk tepat di depan kelas, tapi ketika petugas kebersihan datang dan
ngambilin kursi-kursi, gue berdiri di ujung lorong kelas sama yang lainnya. Suasananya
sangat gelap karena di depan kelas gue nggak ada lampunya dan hujan sangat
deras sementara sore udah menjelang malam. Tiba-tiba Aliyah ngomong, “itu di
belakang siapa ya?”
“Di
belakang mana?” kata gue.
“Di
ujung.”
“Nggak
ada siapa-siapa ah!”
“Ada!”
“Siapa?”
“Nenek-nenek,
duduk di kursi goyang mangku anaknya atau cucunya. Mukanya hancur.”
Gue
emosi lah. Kondisi kampus udah sepi banget, gelap, hujan deras, dan gue bawa
laptop di tas. Kalo gue paksain pulang, laptop gue bisa basah. Lagian di kampus
mana ada kursi goyang!
“Jangan
bercanda dong,” kata gue ke Aliyah. Sementara Fandi dan Ana diem aja tapi tetap
mendengarkan. Gue tau mereka sama takutnya sama gue. Aliyah malah keliatan
makin bersemangat.
“Tadi
dia di dalam kelas, duduk paling belakang di samping Fandi. Sekarang ada di
belakang sana.” Aliyah nunjuk ke ujung lorong satunya lagi. Di sana sangat
gelap dan gue hampir nggak bisa liat apa-apa. Muka Fandi langsung berubah
pucat. Gue? Entahlah muka gue waktu itu kayak gimana.
Kebiasaan
gue dan Fandi, dan juga teman-teman yang lain di kelas ketika lagi nggak ada
dosen emang nongkrong di pojok belakang. Selain karena enak buat nongkrong di
deket jendela, jaringan internet kampus di spot itu juga lebih kencang.
Karena
nggak tahan dengan candaannya, gue nitip tas ke Fandi yang pulang naik angkutan
umum bareng Aliyah dan Ana lalu gue pulang hujan-hujanan. Besoknya teman-teman
sekelas cerita kalau beberapa dari mereka melihat sosok yang sama seperti yang
diceritakan Aliyah kemarin sore. Nenek-nenek duduk di kursi goyang bersama anak
atau cucunya, mukanya hancur. Dan sejak saat itu, setiap kali kelas selesai gue
nggak pernah lagi mau nongkrong di bagian belakang kelas.
Terlepas dari benar atau nggaknya berita itu, bisa
jadi, sosok pria yang kakinya nggak napak itu juga sebenarnya suka nongkrong di
bagian belakang kelas seperti nenek dan cucunya yang mukanya hancur itu. Tapi karena
terlalu sering dicuekin, akhirnya dia menampakkan diri ke depan. EHE.